KPU: Biaya Pilkada Serentak 2024 Berasal dari Tiga Tahun Anggaran

DETIKDATA, JAKARTA – Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menyatakan biaya pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2024 akan bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dari tiga tahun anggaran, yakni 2022, 2023, dan 2024.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada), jadwal Pilkada serentak nasional berlangsung pada 2024, bersamaan dengan pemilihan umum presiden, anggota DPR-RI, DPD-RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

“Beban anggaran tentu sangat besar untuk membiayai Pemilu nasional yang bersumber dari APBN dan APBD untuk Pilkadanya,” kata anggota KPU RI Pramono Ubaid Thantowi, usai diskusi daring Pemilu dan Pilkada Borongan 2024, pada Minggu (7/2/2021).

Sementara, pemerintah daerah akan menggelontorkan dana untuk Pilkada 2024 dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada 2023 dan 2024.

“Jadi kebutuhan anggarannya akan sangat besar sekali, baik dari APBN maupun APBD,” kata Pramono.

Ia menuturkan, jadwal pemungutan suara Pilkada 2024 dalam UU Pilkada ditetapkan pada bulan November, baik pemilihan gubernur maupun pemilihan bupati/wali kota. Sedangkan, pencoblosan pemilu 24 akan berlangsung lebih dahulu pada April.

Ada juga dalam satu daerah yang melaksanakan keduanya, sehingga para pemilih akan mencoblos juga untuk Pilpres, Pileg DPR-RI, DPD-RI, DPRD Provinsi, serta DPRD Kabupaten/Kota.

Menurut Pramono, terdapat tahapan yang saling beririsan antara pelaksanaan Pemilu dan Pilkada yang akan berdampak kepada beban penyelenggara pemilihan.

“Jadi dari tahapan yang beririsan tadi itu nanti akan sangat mungkin teman-teman KPUkabupaten/kota, KPU provinsi, teman-teman PPK, PPS, itu akan melakukan tahapan-tahapan yang berganti-gantian. Jadi tahapan-tahapan itu sangat berdekatan sehingga itu sangat merepotkan teman-teman penyelenggara terutama teman-teman di bawah,” katanya.

Namun, lanjut dia, Pemilu 2019 dengan lima kotak (Pilpres, DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota) terbukti secara teknis melampaui batas kemampuan KPU.

Pramono pun berkaca pada penyelenggaraa Pemilu 2019 yang mengakibatkan sejumlah kecelakaan kerja pada penyelenggara ad hoc.

KPU mencatat, ada 494 petugas meninggal dunia dan 5.175 petugas jatuh sakit yang diduga karena kelelahan akibat melaksanakan tahapan pemilu 2019. Tak hanya itu, muncul masalah ketersediaan logistik, baik yang terlambat datang maupun kekurangan di tempat pemungutan suara (TPS).

Akibatnya, 705 TPS harus melaksanakan pemungutan suara ulang 2.260 TPS melakukan pemilu usulan, dan 296 TPS harus menggelar pemilu lanjutan.

“Masalah-masalah di luar teknis penyelenggaraan juga akan tetap ada. Jadi masalah pemilih juga akan tetap kesulitan memilih, partai politik akan kesulitan memilih, karena jarak yang terlalu dekat kemudian pemilu akan semakin sulit mencapai salah satu tujuan yakni pemerintahan presidensial efektif di tingkat nasional maupun lokal,” kata Pramono.

Sementara itu, pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro merekomendasikan agar Pemilu serentak nasional dan daerah (pemilihan kepala daerah) pada 2024, dihindari.

Ia meminta pemerintah dan DPR RI berkaca pada penyelenggaraan Pemilu 2019. “Saya merekomendasikan Pemilu borongan 2024 harus dihindari,” ujar Siti Zuhro.

Pada pemilu 2019, penyelenggara melaksanakan lima pemilihan sekaligus, yakni Pilpres, Pemilihan Legislatif (pileg) anggota DPR-RI, DPD-RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Bukan efisiensi anggaran yang didapat, justru pelaksanaan pemilihan lima kotak itu menghabiskan biaya lebih besar.

Tidak hanya ongkosnya yang besar, tetapi Indonesia juga kehilangan ratusan petugas penyelenggara ad hoc. Mereka diduga wafat karena kelelahan menjalankan tahapan dari lima pemilihan sekaligus di pemilu 2019.

Siti menuturkan, selama ini pun proses demokrasi melalui pemilihan presiden maupun kepala daerah hanya prosedural. Pemilu dan pilkada yang substantif dan berkualitas sekurang-kurangnya direfleksikan dengan terpilihnya pemimpin yang jujur, kompeten, amanah, transparan/komunikatif, dan bijaksana.

Pelaksanaan demokrasi melalui pemilu dan pilkada juga perlu dibenahi secara substantif khususnya terkait perilaku distortif atau menyimpang/melanggar yang dilakukan para peserta pilkada dan pemilu.

Ia berharap, pemilu dan pilkada bisa meningkatkan kesadaran politik masyarakat, khususnya dalam konteks partisipasi dan kontestasi untuk memilih pemimpin yang amanah dan kompeten.

Di sisi lain, menurut dia, penataan partai politik lah yang utama perlu dibenahi melalui reformasi partai politik. Sebab, kata dia, jantung demokrasi adalah partai politik, yang kadernya akan maju menjadi calon presiden dan wakil presiden, pemimpin kepala daerah, dan anggota dewan legislatif.

Siti mengusulkan, pilkada dilaksanakan sesuai dengan jadwal yaitu 2022 yang akan digelar di 101 daerah dan 2023 yang akan diselenggarakan di 170 daerah.

Ia juga meminta pertimbangan agar daerah yang melaksanakan 2023 disatukan ke pilkada 2022, sehingga totalnya menjadi 271 daerah. (DD/EB).