Singapura Dilanda Fenomena ‘Resesi Seks’

Ilustrasi Resesi Seks (I-Ist)

DETIKDATA, SINGAPURA – Singapura dilanda fenomena resesi seks yang menjadi masalah baru. Wanita di negara tersebut enggan untuk menikah, hingga menekan secara drastis angka kelahiran.

Berdasarkan data yang dirilis tahun 2021, pada tahun 2019, jumlah pernikahan di Singapura sebanyak 22.165, di 2020 jumlah ini menurun 12,3 persen ada 19.430 pernikahan. Ini merupakan angka terendah sejak tahun 1986, yakni 19.348 pernikahan.

Selain itu, riset yang dilakukan Rumah Sakit Wanita dan Anak KK (KKH) Singapura akhir tahun lalu, disimpulkan bahwa 60% wanita Singapura yang disurvei mengalami ‘resesi seks’ karena memiliki fungsi seksual yang rendah. Wanita Singapura kurang bersemangat melakukan hubungan seks sehingga menjadi penyebab fenomena ini.

Perkawinan yang langka membuat negara itu mengalami tingkat kelahiran rendah. Pada 2021, misalnya, angka kelahiran di negara tersebut hanya mencapai 1,12 bayi per wanita. Adapun, jumlah ini sangat rendah jika dibandingkan dengan rata-rata global yang berkisar di angka 2,3.

Kondisi ini lantas membuat pemerintah melakukan sejumlah upaya guna menggenjot tingkat perkawinan di Negeri Singa. Salah satunya dengan menawarkan insentif uang tunai ‘bonus bayi’ untuk menambah semangat warga negara tersebut memiliki anak.

Bahkan, Singapura berencana mengizinkan para wanita lajang untuk membekukan sel telurnya mulai tahun depan. Ini membuka kemungkinan bagi para wanita untuk hamil sekalipun saat tubuhnya tak lagi memproduksi sel telur.

Berdasarkan riset McKinsey & Company, resesi seks ini juga akan berdampak pada kegiatan ekonomi. Resesi seks dapat menghasilkan sebuah kondisi yang dinamakan lonely economy.

Sebutan ini merupakan istilah yang dipakai untuk menggambarkan kegiatan ekonomi yang didorong oleh masyarakat yang cenderung hidup menyendiri. Bahkan, data Statista, rata-rata jumlah orang dalam sebuah rumah tangga terus menyusut.

Sebaliknya, rumah tangga berisi satu orang, atau yang melajang, makin banyak.

“Pergeseran demografis yang signifikan ini mengubah pola permintaan,” tulis Mckinsey. (DD/CNBC Indonesia)