Oleh: Fung Judika S. Tampubolon
(Anggota biasa di GMKI Cabang Medan)
DETIKDATA – Feminis sebagai sebuah paham yang muncul pada akhir abad ke- XVII menggagas pemikiran akan kedudukan dan posisi perempuan di dalam tatanan masyarakat. Tentunya pengaruh baik paham ini dapat memberikan solusi akan ketimpangan yang sering dihadapi perempuan dalam ruang publik atau bahkan ruang privat/domestik. Posisi perempuan sebagai subordinat memang sudah mengakar dan masih kuat dalam kebudayaan khususnya terkait pengambilan keputusan dan sebagai pemimpin lembaga atau masyarakat. Hal ini merupakan sebuah bentuk ketidakadilan yang patut diperhatikan dalam budaya patriarki. Berbagai bentuk ketidakadilan lainnya masih banyak terjadi dalam kehidupan bermasyarakat khususnya dalam perkembangan teknologi kini di Indonesia.
Berdasarkan laporan rofil Internet Indonesia 2022 yang dirilis oleh Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia atau APJII, belum lama ini, menyebutkan bahwa pengguna internet di Indonesia di 2022 dilaporkan mencapai angka 210 juta orang atau sebesar 77,02 persen dari penduduk Indonesia. Angka tersebut naik dibandingkan periode sebelumnya sekitar 73,7 persen (196,71 juta jiwa), dan 2018 penetrasinya hanya sebesar 64,8 persen (171,17 juta jiwa). Selain peningkatan mobilisasi penggunaan internet, masyarakat Indonesia juga mengalami peningkatan dan penggunaan media sosial. Masih dari riset yang sama, bahwa pengguna media sosial masyarakat Indonesia telah mencapai 160 juta jiwa, meningkat18,1% atau 12 juta pengguna dibandingkan dengan tahun sebelumnya, oleh sebab itu penetrasi penggunaan media sosial di Indonesia telah mencapai 159% dari total jumlah penduduk.
Kehidupan masyarakat mengalami perubahan. Media sosial saat ini menjadi kebutuhan bagi masyarakat. Dalam revolusi digital, persoalan mendasar adalah persoalan identitas. Budi Hardiman menyebut manusia dengan homo sapiens seperti Yuval Noah Harari. Saat ini homo sapiens berubah menjadi homo digitalis disebabkan sapiens saat ini lebih eksis di dunia online. Hidup dalam rimba digital hubungan dan relasi antar sesama manusia tidak lagi lewat perjumpaan secara langsung, namun melalui digital yaitu media sosial ataupun secara virtual. Revolusi digital adalah revolusi industri yang keempat. Hal ini ditandai dengan perkembangan dunia digital yang begitu pesat. Perubahan besar ini tentu membawa dampak yang cukup kompleks bagi kehidupan manusia dalam kehidupan sosial, secara mental hingga keadaan politik secara internasional. Yang terjadi adalah luapan informasi dan memasuki situasi yang disebut post truth. Maka, kemajuan teknologi digital dapat menjadi keuntungan dan banyak kesempatan, sekaligus juga dapat menjadi bencana atau petaka bagi umat manusia.
Salah satu hal yang terus menjadi perhatian adalah dijadikannya manusia sebagai barang atau komoditi. Pemanfaatan dalam berbagai hal kepentingan dari mencari keuntungan secara ekonomi sampai pada kepentingan politik tertentu. Sejalan dengan pendapat dari Budi Hardiman yang mengatakan bahwa kedirian (sense of self) ditentukan oleh seberapa banyak interaksi dan kegiatan di dunia digital. Realitas sosial yang dapat kita lihat pasar bebas global dalam kuasa kapitalisme global menjadikan Indonesia menjadi salah satu negara sasaran. Jumlah penduduk yang tinggi dan tingkat kemiskinan yang belum juga dapat dientaskan hingga harini membuat mental masyarakat ingin mendapatkan kekayaan atau penghasilan dnegan cara yang cepat dan melakukan apa saja untuk mendapatkannya.
Perempuan dan eksploitasi masih terus menjadi wacana yang menarik untuk dikaji karena hal ini cukup meresahkan terkhususnya bagi perempuan yang terus menjadi korban. Masyarakat modern yang berfikir secara rasional tapi tidak kritis terhadap persoalan kemanusiaan bahkan memelihara penindasan, menerimanya tanpa paksaan bahkan menikmatinya dalam kerelaan. Berbicara masalah eksploitasi terhadap perempuan, bukan hanya sebatas eksploitasi fisik baik dalam ranah domestik (kekerasan dalam rumah tangga) atau pun di ranah publik (eksploitasi dalam bidang ekonomi) tapi lebih dari pada itu, eksploitasi terhadap perempuan kini meluas dalam segala bidang kehidupan.
Media masa saat ini memiliki peran ganda, ibarat dua sisi mata uang yang berbeda, di satu sisi media berfungsi sebagai mediator untuk pencerdasan dan kemajuan bangsa namun disisi lain media juga berperan untuk penindasan demi keuntungan dan mulusnya jalan kapitalisme pasar menuju budaya konsumen yang ingin diwujudkan, dan lagi-lagi perempuan yang menjadi sasaran dengan rekayasa pencitraan yang mereka ciptakan. Konsumerisme, merupakan tujuan dari kapitalisme pasar sesungguhnya demi keuntungan sebesar-besarnya. Tujuan mereka berhasil bila telah terbentuk budaya masa menuju masyarakat konsumen yang tidak bisa lepas dari dunia materi. Seperti penyakit kronis, kini konsumerisme telah merambah dengan mudah kedalam tiap sendi kehidupan, yang secara bertahap membuat masyarakat seperti kehilangan kendali diri, bahkan bisa dikatakan telah kehilangan jati diri.
Konstruksi citra yang dimainkan oleh iklan telah membuat stereotipe perempuan cantik ditafsirkan oleh dunia kapitalisme demi memperlaris produk mereka. Iklan hanya melihat perempuan berdasarkan kecantikan dan keindahan tubuh tanpa melihat sisi manusiawi dari peran perempuan itu sendiri. Pertanyaan lebih lanjut adalah apakah representasi iklan yang menggunakan sosok perempuan dalam setiap produk benar-benar dilandasi karena pemujaan terhadap keindahan yang ada pada perempuan ataukah hanya sebagai bentuk pemanfaatan untuk menunjukkan penindasan dalam wajah lain?
Kajian dalam penelitian ini mengelaborasi pandangan teori dari “hegemoni” dari Antonio Gramsci. Semakin meningkat level sistem dan aparatu hegemoni yang dalam sebuah sistem sosial, maka semakin meningkat pula bentuk kesadaran sosial yang tercipta dalam masyarakat. Dalam hal ini, penulis melihat bahwa setiap individu mengalami kegagalan dalam memaknai dirinya sebagai korban ataupun objek dengan sebagai suatu keberuntungan atau kebanggaan yang tak dapat dibedakan. Perempuan dan para selebgram merasa ini sebuah gaya hidup dan tampak sangat keren dan meningkatkan status sosial mereka di tengah masyarakat. Kunci ketenaran atau kepopuleran seseorang ditentukan oleh followers yang dimiliki. Kepemilikan followers dalam akun sosial media menjadi standar dalam layak tidaknya mendapatkan pekerjaan tersebut.
Proyek pendisiplinan tubuh atau eksploitasi tubuh perempuan dengan istilah Kris Budiman dengan konsep pemaksaan sesuai dengan tuntutan komoditas tersebut, ini sangat dipatuhi oleh kaum perempuan tanpa paksaan. Perempuan menjadi korban pasar global fashion, kosmetik, dan seluruh aksesoris kecantikan yang diproduksi oleh media massa dalam sosial media. Dari penelitian penulis ternyata sangat minim sekali bahkan nyaris tidak ada yang merasa khawatir, gelisah, cemas bahkan menderita yang membuat mereka terindikasi sebagai korban melainkan mereka berupaya sekuat tenaga agar mendapat kesempatan untuk masuk dalam kategori untuk standar yang diminta oleh projek pengiklanan dengan membeli followers atau tindakan yang curang lainnya.
Ketika sifat konsumerisme yang semakin menggila dalam tubuh perempuan, berarti tujuan kapitalisme telah berhasil, untuk membentuk budaya massa populer. Tubuh perempuan di eksploitasi di media massa seperti iklan untuk memamerkan produk mereka, dan pada akhirnya tubuh perempuan juga yang menggunakan dan mengkonsumsi produk kapitalis tersebut. Sesungguhnya mereka sadar akan eksploitasi tersebut, tapi menikmatinya dengan dalih gaya dan mode. Artinya perempuan hari ini telah terhegemony dan didominasi oleh struktur kapitalis. Seperti yang diungkapkan Gramsci, bahwa hegemoni tercipta ketika sebuah ideologi dipaksakan sedemikian rupa tapi disetujui dan didukung oleh mayoritas secara sadar sehingga pada akhirnya kesadaran akan hilang akibat penindasan tersebut
Agaknya perempuan hari ini harus merenungi kembali hakekat dirinya, agar bisa memberi perlawanan terhadap ‘tipuan kapitalisme’ yang begitu dahsyat. Ketika media menghantam lewat media, perempuan juga harus melawan lewat media. Sudah saatnya perempuan bangkit dari sangkar besi yang mengungkung mereka atas eksploitasi. Bebaskan diri dari penindasan, perempuan harus masuk dalam struktur media baik sebagai penulis ataupun biro iklan, untuk membebaskan sistem patriarki yang telah menjadi tradisi media hari ini. Kritik mendalam yang harusnya dapat menyadarkan para generasi bangsa agar tidak terjerat dalam lingkaran kapitalisme global yang menguasai tubuh perempuan hingga kehilangan makna akan kebertubuhan itu sendiri. Setidaknya perlawanan bisa di mulai melalui penanaman kesadaran, perempuan harus melek media baik sebagai penulis ataupun pembaca. Karena banyak potensi yang bisa di ekspos dari perempuan, karena perempuan hadir untuk diberdayakan bukan diperdayakan.
Tidak berhenti disitu saja fenomena yang terjadi perempuan jadi konsumtif karena permintaan laki-laki dalam dunia patriarki. Sama hal nya dalam dunia kapitalisme global, perempuan ingin diobjekkan karena permintaan dari kapitalisme itu terkait ekploitasi itu. Kamera dalam media juga adalah mata laki-laki dimana kecantikan yang menjadi sorotan utama bagi perempuan. Maka sebagai mahasiswi ataupun perempuan yang aktif dalam organisasi kita harus merefleksikan secara kritis teknologi dan kondisi Kemanusiaan kita saat ini. Manusia dalam realitas sebagai mahluk yang rentan dalam ketidakpastian. Maka, melalui perayaan Hari Perempuan Internasional kita merefleksikan dan memiliki nalar kritis akan apa yang ada dalam media sosial khususnya TikTok sebagai media sosial terbanyak digunakan masyarakat Indonesia, yang jika kita teliti kembali sangat masifnya berbagai bentuk kekerasan dalam bentuk eksploitasi tubuh khususnya perempuan dengan motivasi uang dan popularitas.
DAFTAR PUSTAKA:
Sumber Buku:
– Maria Mies, Patriarchy and Accumulation On A World Scale (Women in the International Division Of Labour), London : Zed Books, 1994.
– Karl Marx, Kapital Sebuah Kritik Ekonomi Politik Buku Pertama, 2004.
– Fauzi Fashri, Penyingkapan Kuasa Simbol: Apropriasi Refleksi Pemikiran Pierre Bourdieu, Yogyakarta: Juxtapose. 2007
– Karl Marx, “Critique of Hegel’s Philosophy of right”, dalam Marx on religion, ed Jhon Raines, (Philadelphia: temple University Press, 2002), 171.
– Trevor Ling, “Karl Marx and Religion In Europe and India”, (London: The Macmillan Press LTD, 1980), 16.
– Foucault, Michel, Disciplin and Punish, New York: Vintage Books, 1995
– lilijawa, Isidorus, Perempuan, Media dan Politik, Maumere: LEDALERO, 2010
Sumber Internet:
https://www.kominfo.go.id/content/detail/44678/kominfo-lanjutkan-lima-program-prioritas-di-2023/0/artikel, diakses pada 05 Februari 2023 Pukul: 09.12 WIB.