INJIL HARUS TURUN SAMPAI DI GUBUK SI MISKIN Oleh : Yabes Merkido Ottu

Penyampaian injil pada hari ini tidak hanya cukup bersemayam di atas mimbar yang didesain begitu mewah tanpa cela. Injil tidak hanya bisa menyentuh mereka yang lapar rohani tapi jasmani. Kondisi manusia yang panuh dengan kegelapan maka disitulah yang menumbuhkan kehadiran Injil. Injil adalah obat bagi jiwa yang rapuh. Injil tidak bisa hadir dan berdampak secara efektif pada kehidupan yang kokoh, justru akan sangat diterima oleh jiwa dan raga yang sedang membutuhkan. Mengapa demikian?, yang pastinya bahwa jika obat untuk orang sakit maka Injil juga bagi manusia yang sedang membutuhkan sentuhan rohani sesuai dengan konteks kebutuhan.

Karl Marx berkata bahwa agama lahir karena masyarakat. Itulah sebabnya tidak salah jika saya mengajak setiap komponen untuk dapat menafsirkan kalimat di atas bahwasanya kondisi masyarakatlah yang akan menghadirkan dan menhidupkan Injil di sana. Kehadiran Injil adalah untuk menjadikan setiap insan mencapai taraf kehidupan yang ideal. Itulah sebabnya injil harus keluar lebih jauh bukan masuk dan bersembunyi di dalam gedung gereja dengan alasan kehidupan ada di dalam gereja.

Injil hari ini tidak boleh nyaman tanpa tindakan nyata. Injil hari ini harus disampaikan lewat aksi bukan kata-kata puitis yang berhasil membuat jemaat tertidur pulas kerena rayuan suara merdu. Atau firman yang diracik dengan lelucon yang membuat orang banyak berbondong-bondong datang karena ingin mendengar penyampaian firman Tuhan yang dikemas dalam stand up comedy. Lalu mereka pulang dengan ingatan yang membekas, pendeta atau penatua itu luar biasa berkhotbah, tidak buat kantuk tapi menghibur hingga tertawa puas. Dan efek dari kegiatan-kegiatan penginjilan seperti ini tidak akan berdapak baik bagi kehidupan jemaat. Lalu pada akhirnya yang kaya adalah gedung gereja namun pondok jemaat tidak layak huni dibangun berdampingan dengan gereja yang begitu mewah.

Jika demikian maka telah hadir ketidakadilan antar Injil dan kehidupan manusia disini. Dapat dibenarkan pandangan Karl Marx tentang kapitalisme yang hidup dalam gedung gereja itu sendiri. Pemimpin gereja akan terlihat menciptakan atau mempraktekkan kapitalisme dalam tubuh gereja yang menempatkan Injil pada porsi yang menguntungkan satu pihak dan jemaat di luar gedung gereja tetap berpuasa diri dengan kehidupan dan dipaksakan untuk menerima pasrah-penuh kepasaran bahwa jemaat demikian telah ditakdirkan Tuhan untuk memiliki kehidupan yang demikian.
Injil harus dibawa sampai benar-benar ikut merasakan setiap sisi kehidupan manusia. Serta manusia merasakan nikmatnya kehidupan yang diarahkan oleh Injil itu sendiri. Sebelum Injil mengarahkan maka Injil harus ikut hidup bersama-sama. Injil harus turun dari mimbar dan hidup di lorong-lorong kehidupan jemaat.

Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari firman yang keluar dari mulut Allah (Maret. 4:4) saya tidak sedang mencoba untuk membantah Firman Allah namun manusia juga membutuhkan kekuatan jasmani untuk menerima serta menjalankan segala perintahnya. Saya sepakat bahwasanya firman adalah senjata rohani namun tidak bisa dipungkiri bahwa manusia adalah mahluk yang lemah dan yang pastinya bahwa roti juga dibutuhkan oleh manusia untuk bertahan hidup. Jangan heran jika hari ini banyak gereja yang kehilangan jemaat disetiap pelosok yang meniggalkan gereja karena materi sesaat untuk kebutuhan hidup. Jangan salahkan jika jemaat gereja melakukan hal demikian.

Jangan heran gereja pada akhirnya kosong. Jangan salahkan jemaat jika memilih mengais rupiah dihari Minggu dan jam ibadah yang ditentukan oleh gereja. Jangan salahkan jemaat jika berpindah keyakinan karena diperhatikan tidak hanya pada kehidupan rohani tapi juga kelayakan hidup secara jasmani. Perlu diketahui lebih lanjut bahwa Injil dan doa dari kaum kelas sosial rendah berubah menjadi sebuah tindakan protes karena tidak disentuh secara utuh.
Hal demikian perlu diperhatikan oleh gereja sebagai salah satu tugasnya sebagai penyalur berkat untuk menjawab suatu perintah agung yang bagi saya pada hari ini organisasi gereja perlu yang tertulis jelas dalam kitab Petrus 3:9 tentang bagaimana menjadi berkat bagi sesama manusia. Saya turut percaya bahwa proses penyaringan kitab khsusnya yang menulis tentang kehidupan jemaat mula-mula (kisah Para Rasul 4:32-37) juga tidak hanya memiliki maksud sebatas historis untuk dikenang sebagai awal mula gereja itu hidup namun lebih dari itu adalah bagaimana kesejahteraan jemaat itu sendiri. Sanga jelas dicatah bahwa kehidupan jemaat pada saat itu yang terus bertambah setiap harinya. Lalu kita akan bertanya mengapa terus bertambah?, sebenarnya di sini ada satu jawaban yang menarik. Disampaikan bahwa mereka menjadikan kasih Yesus sebagai acuan dalam hidup sehari-hari.
Disampakan bahwa ada tindakan Saling peduli terhadap kebutuhan sesama disana, mereka saling mengisi dalam memenuhi kebutuhan jasmani.
Praktek diakonia perlu diperhatikan diera sekarang untuk menjawab kebutuhan jasmani setiap jemaat yang membutuhkan ukuran tanggan. Gereja harus membuka diri dan membawa mimbar gereja untuk turun sampai pada lorong-lorong kehidupan jemaat. Gereja harus membuka lumbung-lumbung kasih. ”Bertolong-tolonglah menanggung bebanmu. Demikianlah kamu memenuhi hukum kristus”(Galatia 6:2)
Lalu siapa yang harus membawa Injil kesana? Itu tugas semua orang terkhususnya pemilik toga penginjilan serta dibantu oleh setiap aktivis rohaniah lainya.

Pemimpin geraja dan semua orang harus tahu bahwa penginjilan bertujuan juga untuk mencari domba-domba yang tersesat maka itu perlu diketahui bahwa domba tersesat tidak ada dalam lingkungan dalam ruang gereja. Mereka sesungguhnya ada di luar gereja. Bisa dikatakan bahwa lampu tidak begitu dibutuhkan oleh sinar matahari. Injil adalah antitesis dari kehidupan yang gelap itulah sebabnya injil dikatakan sebagai pembimbing menuju ke tatanan hidup yang lebih baik. Maka dari itu Injil harus keluar lebih jauh dari gedung gereja. Injil harus turun sampai di jalan-jalan dan lorong-lorong kehidupan manusia.

Injil harus turun sampai di gubuknya si miskin lalu makan dan minum dengan lauk-pauk garam asin bersama seraya menikmati kehidupan tanpa mimbar mewah. Injil harus sampai pada si kaya agar makan dan minum bersama dan mempelajari bagaimana si kaya makan dan minum dan bersaksi tentang indahnya berbagi dengan sesama. Injil harus sampai pada nelayan untuk bersaksi tentang bagaimana Simon diberkati menjadi penjala manusia. Injil harus sampai pada tukang kebun agar mereka tahu anggur yang manis adalah hasil tetesan keringat yang asin mereka.

Menyampaikan Injil Tuhan harus sesuai konteks kehidupan manusia. Itulah mengapa ada cara tersendiri yang dipakai oleh sang Juru Selamat itu dalam menyampaikan Injil kebenaran.
Ketika Tuhan Yesus menghadapi dan menyampaikan kebenaran firman kepada orang kaya maka dikatakan, “bersedekahlah maka kamu akan memiliki surga”. Lalu ketika Ia berhadapan dengan orang miskin maka disana Ia berkata, “berbahagialah karena engkau yang empunya kerajaan Allah”.
Akhir dari tulisan ini maka penulis menyimpulkan bahwa Injil harus dibawa turun dari mimbar gereja untuk berbaur dengan jemaat di setiap lorong-lorong kehidupan untuk tidak hanya menyentuh secara rohani namun jasmani pun harus turut merasakan Injil itu sendiri.

***Mahasiswa IAKN Kupang