DETIKDATA, RUTENG – Merawat budaya untuk kehidupan, begitu sebuah kalimat untuk mendeskripsikan tentang seorang siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 3 Cibal, Kabupaten Manggarai, NTT yang menjaga tradisi menenun untuk memenuhi kebutuhannya.
Siswa bernama Wilhelmina Ratna Titin (15) belajar menenun sejak setahun yang lalu tepatnya ketika ia masih duduk di bangku kelas 9 sekolah menengah pertama (SMP).
Wilhelmina mengungkap, selain ingin melestarikan budaya menenun yang semakin ditinggalkan oleh orang muda, motivasi menenun-nya juga untuk membantu memenuhi kebutuhannya. Ia berkisah bahwa menenun membantu meringankan beban orang tuanya.
Saat ditemui detikdata.com, Wilhelmina bercerita tentang proses menenun yang dilakukannya.
“Waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan satu kain tergantung model dan motif, biasanya untuk baju membutuhkan waktu satu bulan sedangkan sarung songke 2 hingga 3 Minggu,” jelas Wilhelmina. Selasa
(05/04/22).
Siswa SMA tersebut mengatakan bahwa ia telah menghasilkan lima lembar kain dari proses menenun yang dilakukannya sendiri, untuk menjual hasil tenunannya, ia biasa menjualnya di pasar, selain itu juga ada beberapa pembeli yang sudah mengetahui kemampuan menenun-nya sehingga langsung datang dan membelinya di rumah.
Selain bercerita tentang proses menenun yang dilakukannya, Wilhelmina juga mengajak para pemuda di Kecamatan Cibal sebagai pusat wisata tenun untuk bersama-sama melestarikan budaya menenun. Menenun merupakan salah satu kebiasaan turun temurun dari para leluhur selain itu menenun juga memiliki nilai ekonomi tinggi.
“Kepada pemerintah dan masyarakat setempat agar selalu memberi ruang dan waktu sehingga dapat berkreasi dan berinovasi dalam mengembangkan budaya tenun,” harapnya.
Selain itu Wilhelmina juga mengucapkan terimakasih kepada stakeholder terutama para guru di SMA Negeri 3 Cibal.
“Saya merupakan representasi dari seluruh siswa mengucapkan terima kasih kepada semua stakeholder yang telah mendukung terutama dari sekolah dan guru pengampuh mata pelajaran Prakarya, ibu Serlianti Nasep yang telah membimbing kami untuk melestarikan budaya menenun,” tutup Wilhelmina. (DD/CH/PB)