DETIKDATA, JAKARTA – Berdasarkan Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021, Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki 15 kabupaten berkategori merah. Pelabelan status merah tersebut karena prevalensi stuntingnya masih di atas 30 persen.
“NTT masih memiliki pekerjaan rumah atau (PR) besar untuk persoalan angka stunting yang tinggi. Berdasar SSGI 2021,” kata Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo, dalam sosialisasi Rencana Aksi Nasional Percepatan Penurunan Stunting Indonesia (RAN PASTI) di Kupang, Jumat (4/3/2022) seperti yang disampaikan dalam siaran pers BKKBN.
Lima belas daerah di NTT tersebut adalah Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Alor, Sumba Barat Daya, Manggarai Timur, Kabupaten Kupang, Rote Ndao, Belu, Manggarai Barat, Sumba Barat, Sumba Tengah, Sabu Raijua, Manggarai, Lembata, dan Malaka. Bahkan Timor Tengah Selatan dan Timor Tengah Utara memiliki prevalensi di atas 46 persen
Disebutkan, lima kabupaten di NTT masuk dalam 10 besar daerah yang memiliki prevalensi stunting tertinggi di tanah air yakni; Timor Tengah Selatan di urutan pertama, Timor Tengah Utara di posisi ke dua, Alor di peringkat ke-lima, Sumba Barat Daya pada rangking ke-enam, serta Manggarai Timur di posisi 8 dari 246 kabupaten/kota yang menjadi prioritas percepatan penurunan stunting.
Sementara sisanya, 7 kabupaten dan kota berstatus kuning dengan prevalensi 20 hingga 30 persen, diantaranya Ngada, Sumba Timur, Negekeo, Ende, Sikka, Kota Kupang serta Flores Timur. Bahkan tiga daerah seperti Ngada, Sumba Timur dan Negekeo mendekati status merah.
Tidak ada satupun daerah di NTT yang berstatus hijau yakni berprevelensi stunting antara 10 hingga 20 persen. Apalagi berstatus biru untuk prevalensi stunting di bawah 10 persen.
“Persoalan stunting yang ada di masyarakat kita, tidak saja menjadi urusan pemerintah atau pemangku kepentingan belaka. Persoalan stunting adalah persoalan bangsa yang harus kita tuntaskan bersama dan membutuhkan kolaborasi semua kalangan,” ungkap Hasto.
Menurutnya, sudah menjadi komitmen pembangunan keluarga adalah pondasi utama tercapainya kemajuan bangsa. Apalagi periode 2025 – 2035 merupakan fase puncak periode bonus demografi, dan target 2024, angka stunting nasional harus berada pada angka 14 persen.
NTT sebagai salah satu dari 12 provinsi prioritas yang memiliki prevalensi stunting tertinggi menjadi fokus utama dari BKKBN untuk menggencarkan program percepatan penurunan stunting bersama kolaborasi Sekretariat Wakil Presiden, Kemenko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri, serta Bappenas.
“Saya yakin dengan fokus kepada konvergensi hingga tingkat desa sangat menentukan penerimaan paket manfaat kepada keluarga berisiko stunting,” jelasnya.
Oleh karena itu lanjut Hasto, pembentukan Tim Percepatan Penurunan Stunting atau TPPS dari tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan hingga kelurahan atau desa harus disegerakan.
“Keberadaan TPPS pada semua tingkatan pemerintahan sangat membantu pencapaian target penurunan angka stunting,” tambahnya.
Menurut Kepala BKKBN yang juga Ketua Pelaksana Percepatan Penurunan Stunting Nasional, kecenderungan rata-rata penurunan stunting di Indonesia sejak 2015 hingga 2019 berkisar 0,3 persen. Sementara target penurunan stunting dari 2020 hingga 2024 harus berkisar pada angka 2,5 persen. Angka stunting 14 persen yang menjadi target nasional 2024 diyakini akan tercapai termasuk kontribusi dari NTT.
Untuk lebih memperkuat koordinasi dan kesepahaman tentang mekanisme tata kerja, pemantauan, pelaporan, evaluasi dan skenario pendanaan stunting di daerah, BKKBN yang diberi tugas Presiden Jokowi sebagai “pengendali” pencegahan stunting di tanah air menggelar sosialisasi RAN pasti tersebut.
“RAN PASTI di NTT hendaknya melibatkan insan cendekia yang berasal dari kalangan perguruan tinggi yang ada di NTT. Pelibatan program kampus merdeka sangat efektif dalam memberikan edukasi tentang stunting kepada masyarakat,” tutup Kepala BKKBN. (DD/IP)