Pengamat: Libatkan Penyelenggara Pemilu dalam Revisi UU Pemilu

DETIKDATA, JAKARTA – Peneliti Lembaga Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif Muhammad Ihsan Maulana, mengimbau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melibatkan penyelenggara pemilu dalam pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu).

Penyelenggara pemilu antara lain Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), maupun Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

“Seharusnya DPR tidak hanya bersepakat secara politis saja untuk mereka melanjutkan atau tidak terkait dengan revisi Undang-Undang Pemilu, tetapi juga beban penyelenggara, aspirasi penyelenggara pemilu untuk pelaksanaan pemilu serentak 2024 seharusnya juga diikutsertakan, mereka didengar,” kata Ihsan dalam keterangannya, usai diskusi daring Maju Mundur Revisi UU Pemilu, Minggu (7/2/2021).

Menurut Ihsan, seharusnya sejak awal perdebatan revisi UU Pemilu sudah melibatkan masukan dan saran dari penyelenggara pemilu.
Sebab, kata Ihsan, penyelenggara pemilu menjadi pihak yang sangat terdampak atas pemberlakuan UU Pemilu, beban penyelenggara dalam pelaksanaan pemilu sangat bergantung pada revisi UU Pemilu.

Banyak persoalan terkait penyelenggaraan pemilu yang seharusnya bisa diakomodasi melalui revisi UU Pemilu.

Ihsan menuturkan, revisi UU Pemilu bukan hanya mempermasalahkan seputar jadwal penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada), sistem pemilu, atau ambang batas parlemen (presidential threshold) yang diperdebatkan anggota partai politik di DPR.

Banyak persoalan lain yang belum dibenahi, seperti permasalahan proses penegakan hukum pemilu hingga pembentukan lembaga peradilan khusus pemilu.

Permasalahan tersebut sebenarnya memang telah diakomodisi melalui sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Ihsan mendorong agar DPR secara cermat menginventarisasi pasal-pasal yang bermasalah dalam UU Pemilu saat ini.

Selain itu, ada beberapa ketentuan-ketentuan yang perlu dievaluasi, dibenahi, atau dilengkapi demi mendapatkan desain pelaksanaan pemilu yang optimal.

Dengan demikian, kata Ihsan, keputusan mengenai revisi atau tidaknya UU Pemilu harus benar-benar tepat.

Alasan merevisi UU Pemilu seharusnya tidak hanya berdasarkan pada alasan politis saja.

“Jangan hanya memberikan narasi bahwa Undang-undang Pemilu, dan Undang-undang Pilkada tidak perlu dilakukan revisi karena undang-undangnya misalnya baru dipakai sekali dalam konteks kepemiluan, tetapi tidak punya proyeksi yang cukup untuk mengevaluasi apakah perlu atau tidak dilakukan revisi,” kata Ihsan.

Sebelumnya, KPU RI memastikan akan menjalankan regulasi terkait pemilihan umum (Pemilu).

Sejauh ini, sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, maka Pilkada tetap digelar pada 2024.

Hal tersebut menjawab terkait wacana pelaksanaan Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024.

“Sebagai penyelenggara KPU mengacu pada Undang-undang. Kalau mengacu Undang-undang sekarang tentu 2024,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Ketua KPU RI, Ilham Saputra.

Menurut Ilham, KPU juga akan menjalankan jika keputusan DPR dan pemerintah berubah.

Pada prinsipnya, kata Ilham, KPU hanya sebagai pelaksana. Maka tugasnya menjalankan setiap aturan yang sudah ditetapkan.

“Tetapi kalau nanti ada keputusan politik DPR dan pemerintah, bahwa pemilihan akan dipercepat ya kami akan laksanakan. Prinsipnya KPU akan menjalankan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” kata Ilham.

Sementara itu, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU)RI, Hasyim Asy’ari mengusulkan pemilihan kepala daerah (Pilkada) dilakukan serentak tahun 2026.

Alasannya, saat ini masa jabatan kepala daerah masih beragam dan tidak sinkron dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

“Dalam rangka penataan desain keserentakan pemilu, berikut ini usulan dan argumentasi saya perihal 2 Jenis Pemilu Serentak; Satu, Pemilu Serentak Nasional 2024 (Pilpres, Pemilu DPR dan DPD) dan Pemilu Serentak Daerah 2026 (Pilkada Prov/Kab/Kota dan DPRD Prov/Kab/Kota),” kata Hasyim dalam keterangannya.

Hasyim memaparkan sejumlah argumentesi atas usulan tersebut. Pertama, tujuan diadakannya Pemilu dalam membentuk membentuk pemerintahan (relasi eksekutif dan legislatif).

Karena itu, pemilu diselenggarakan serentak antara pemilu untuk memilih pejabat eksekutif dan legislatif.

Kedua, Pemilu Serentak Nasional sudah ada desain atau pola keserentakan 5 tahunan, dan sudah dipraktekkan dalam Pemilu 2019. Regularitasnya 5 tahun berikutnya adalah 2024.

‘Pilkada Serentak selama ini (2015, 2017, 2018, 2020) baru tercapai keserentakan coblosan, belum mampu menata keserentakan masa jabatan kepala daerah, dan belum mampu melembagakan keserentakan tujuan pemilu yaitu membentuk pemerintahan daerah serentak (pilkada dan pileg prov/kab/kota),” ujarnya.

Dia menegaskan, selama pemilu 2004, 2009, 2014 dan 2019 belum terjadinya sinkronisasi dengan pilkada 2005, 2006, 2007, 2008, 2010, 2011, 2012, 2013, 2015, 2017, 2018 dan 2020.

Menurut dia, masa jabatan kepala daerah masih beragam dan tidak sinkron dengan masa jabatan anggota DPRD. (DD/EB).