DETIKDATA, SOE – Empat orang wartawan di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) yang resmi melapor ke Polres TTS. Rabu (31/03/21).
Keempat wartawan tersebut yakni, Yuferdi Inyo Faot dari media salamtimor.com, Lefinus Asbanu dari media Pendidikan Cakrawala NTT, Yohanis Tkikhau dari mediatirta.com dan Daud Nubatonis, wartawan metrobuananews.com. dituduh menerima bayaran oleh guru SMP Kristen 1 Amanuban Barat, TTS. Selasa (30/03/21) lalu.
Laporan itu diterima oleh Zeth O. Boling, selaku Kanit I SPKT Polres TTS, dengan nomor: STTLP/74/III/2021/RES TTS.
Inyo Faot usai membuat laporan polisi menjelaskan, pihaknya merasa dirugikan dengan insiden tersebut. Pasalnya, terlapor tidak menjelaskan secara detail terkait tuduhan itu.
“Kita melaporkan Dra. Maxima R. Bhia yang menuduh kami tanpa bukti. Karena itu kami menilai yang bersangkutan menyebar fitnah,” jelas Inyo.
Lanjut Inyo, tuduhan tersebut mencederai profesi jurnalis. Apalagi tuduhan itu secara terang-terangan didengar oleh banyak orang dan guru-guru yang hadir saat itu.
“Kita merasa malu dengan kejadian tersebut. Karena itu, kita melaporkan kejadian ini ke pihak yang berwenang untuk bisa mendapatkan keadilan,” ujarnya.
Ia menambahkan, sikap itu ditempuh agar masyarakat umum tidak menilai buruk profesi jurnalis. Sebab jika hal itu dibiarkan maka akan membias.
“Kita tidak bisa membiarkan ini karena tuduhan itu akan merusak citra insan Pers di mata masyarakat,” ungkapnya.
Sementara, Lefinus Asbanu menguraikan kronologi kejadian itu. Menurutnya, kehadiran mereka di sana untuk meliput pembukaan pintu ruang Kepala Sekolah SMP Kristen 1 Amanuban Barat dan SMA Kristen Manek To Kuatnana, karena semenjak meninggalnya Alm. Semuel Laoe, SH, pada bulan Januari ruangan kepala sekolah tersebut belum dibuka, selain itu juga penolakan 16 orang guru terhadap Plt. Kepala SMP Kristen 1 Amanuban Barat.
Lenzho sapaan akrabnya menjelaskan, awalnya Ketua Yapenkris Tois Neno, Martinus Banunaek menyampaikan tujuan pembukaan ruang Kepala Sekolah itu, Namun pembukaan ruangan itu gagal karena ada penolakan dari Ketua Komite sekaligus pendiri pada SMP Kristen 1 Amanuban Barat dan SMA Kristen Manek To Kuatnana, Habel Hitarihun dan beberapa orang lainnya.
“Kami ikuti pembicaraan untuk buka ruang Kepala Sekolah itu. Tapi tidak ada titik temu, kemudian Ketua Yapenkris Tois Neno meminta waktu untuk diskusi sebelum mengambil tindakan selanjutnya. Saat pihak Yayasan dan undangan lainnya bergeser untuk diskusi, saat itulah kejadian tuduhan itu bermula,” jelas Lenzho.
Lenzho mengatakan, Ia bersama rekan 3 orang lainnya tidak mengeluarkan kata-kata atau perbuatan yang tidak menyenangkan. Namun tiba-tiba, mereka dituduh meliput kegiatan itu karena dibayar.
“Kami kaget tiba-tiba dituduh menerima bayaran. Tuduhan itu pun tidak jelas, siapa yang membayar kami, kemudian jumlah uang yang kami terima itu berapa. Jadi mereka omong lepas-lepas saja,” kata Lenzho.
Hal senada juga diungkap Joe Kikhau, pihaknya sempat meminta penjelasan dari Maxima Bhia, namun yang bersangkutan terus mengomel dan mengata-ngatai mereka.
“Kita coba minta penjelasan, tapi upaya itu sia-sia. Bahkan saya diusir supaya tidak minta penjelasan,” ujar Joe.
Lanjutnya, karena tidak ada penjelasan yang bisa membuktikan tuduhan itu, mereka memilih untuk mengalah agar tidak memperkeruh suasana.
“Kami memilih untuk mengalah karena yang bersangkutan tidak mau menjelaskan. Namun kejadian itu kita tidak bisa didiamkan. Setelah berdiskusi, kita memilih untuk menempuh jalur hukum,” jelasnya.
Untuk diketahui para pelapor juga mengantongi bukti berupa rekaman video dan rekaman suara. Dalam rekaman video tersebut, Maxima Bhia mengatakan, para wartawan menerima bayaran untuk meliput kegiatan itu.
“Jadi lu datang ini son (tidak) pake bayar? Bayar, bayar. Son (tidak) ada orang gila yang dia mau datang kalau son (tidak) bayar,” ujar Maxima dalam rekaman video yang dijadikan sebagai bukti. (DD/TIM)