DETIKDATA, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya menahan mantan Direktur Utama PT Pelindo II, RJ Lino (RJL), terkait kasus dugaan korupsi pada proyek pengadaan tiga unit Quay Container Crane (QCC), usai ditetapkan sebagai tersangka sejak Desember 2015 silam.
Dalam keterangan resmi yang disiarkan secara virtual, Jumat (26/3/2021), Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, mengungkapkan penahanan terhadap RJL selama 20 hari kedepan murni kewenangan penyidik KPK sesuai Undang-Undang dan peraturan yang berlaku, setelah sejumlah alat bukti dan pemeriksaan saksi-saksi dirasa cukup.
“Kami menyampaikan informasi terkait dengan penahanan tersangka RJL (RJ Lino), Mantan Direktur Utama PT Pelindo II (Persero) dalam dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) terkait proyek pengadaan tiga unit Quay Container Crane (Qcc) di Pelindo II pada 2010,” kata Alexander Marwata.
Ia mengungkapkan, untuk kepentingan penyidikan, KPK menahan tersangka RJL selama 20 hari terhitung sejak 26 Maret 2021 sampai 13 April 2021 di Rumah Tahanan (Rutan) Negara Klas I Cabang KPK
Terkait protokol kesehatan pencegahan COVID-19, menurut Alexander Marwata, tersangka RJL akan menjalani isolasi mandiri selama 14 hari di Rutan Cabang KPK pada Gedung ACLC KPK di Kavling C1.
Sejak penetapan status tersangka pada Desember 2015 dan kasusnya naik ke penyidikan, penyidik KPK menurut Alexander Marwata terus mengumpulkan alat bukti, termasuk meminta keterangan sedikitnya 74 saksi dan menyita berbagai barang bukti dokumen yang terkait perkara.
Hasil penyidikan KPK, RJL diduga menyalahgunakan wewenangnya dengan menunjuk langsung Huangdong Heavy Machinery (HDHM) dari China dalam pengadaan tiga unit QCC di PT Pelindo II, khususnya pengadaan QCC 2010 diadakan di Pontianak, Palembang, dan Lampung, proyek ini bernilai sekitar Rp100-an miliar.
KPK mengakui, penyidikan kasus sempat terkendala perhitungan kerugian keuangan negara, karena pihak HDHM yang menjadi pelaksana proyek enggan menyerahkan dokumen harga QCC yang mereka jual kepada PT Pelindo II.
KPK sendiri telah meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk menghitung kerugian keuangan negara.
Dalam kasus ini RJL dijerat melanggar Pasal 2 Ayat (1) dan atau Pasal 3 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. (DD/US)