DETIKDATA, JAKARTA – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menetapkan skema pungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pascaproduksi berdasarkan Peraturan Pemeraintah (PP) Nomor 85 Tahun 2021.
Sistem penarikan pascaproduksi diyakini menjadi solusi dalam memberantas praktik mark down ukuran kapal dan mendongkrak PNBP sumber daya alam perikanan yang selama ini masih minim.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP, Muhammad Zaini, menjelaskan yang menjadi alasan tidak ada celah untuk praktik kecurangan ukuran kapal pada sistem tarif PNBP pascaproduksi, lantaran formulasinya tidak lagi menyertakan gross tonnage kapal. Hanya ada dua poin penghitungan yaitu indeks tarif dan nilai produksi ikan saat didaratkan.
“Gross tonnage kapal ini sangat berpengaruh terhadap PNBP yang akan dibayarkan. Akibatnya apa, banyak kapal-kapal yang dilakukan mark down, sehingga ini bukan hanya merugikan keuangan negara tapi juga mengacaukan penghitungan sumber daya ikan yang dimanfaatkan,” ujar Zaini dalam webinar bertemakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Perikanan yang digelar Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Selasa (9/11/2021).
Sistem penarikan PNBP pascaproduksi pada subsektor perikanan tangkap baru akan dilakukan secara menyeluruh di pelabuhan perikanan Indonesia pada awal 2023.
Saat ini, sistem yang digunakan masih praproduksi yang formulasinya meliputi poin tarif range gross tonnage, produktivitas kapal, harga patokan ikan, serta gross tonnage kapal.
Tarif PNBP pascaproduksi menurut Zaini, juga memberi rasa keadilan bagi negara maupun pelaku usaha. Sebab pemilik kapal membayar tarif PNBP sesuai dengan jumlah ikan yang didaratkan dan harga ikan ketika didaratkan.
Mengenai persentase tarifnya sendiri dibagi dalam dua kategori sesuai ukuran kapal. Yakni besaran tarif PNBP 5 persen dari hasil tangkapan untuk kapal penangkap ukuran sampai 60 GT, dan 10 persen untuk kapal penangkap ukuran di atas 60 GT. Persentase tarif ini lebih sedikit dibanding sistem praproduksi yang menyertakan tarif PNBP 25 persen.
“Kalau kita bandingkan antara pra dengan pasca, ini sebenarnya kita mendistribusikan keadilan. Kenapa? Karena kalau pascaproduksi itu sudah pasti. Kita tinggal timbang berapa ikan yang ditangkap, kemudian harga jual saat ini berapa, itulah jadikan patokan untuk penentuan PNBP nya. Jadi tidak bisa lagi kira-kira. Jadi berapa jumlahnya, lakunya berapa, jenis (kapalnya) apa, itulah yang menjadikan patokan, apakah 5 persen atau 10 persen,” urai Zaini.
Sementara itu, Direktur Penerimaan Negara Bukan Pajak Sumber Daya Alam dan Kekayaan Negara Dipisahkan Kementerian Keuangan RI, Kurnia Chairi, menilai kehadiran PP Nomor 85 Tahun 2021 yang menjadi dasar penerapan tarif pascaproduksi, merupakan momentum untuk meningkatkan penerimaan negara dari subsektor perikanan tangkap.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, Produk Domestik Bruto (PDB) subsektor perikanan tumbuh positif dalam lima tahun terakhir. Pada tahun 2019 dan 2020 nilainya lebih dari Rp 400 triliun. Namun rata-rata PNBP perikanan dalam periode 2015-2020 baru mencapai Rp 417 miliar per tahun atau hanya memberikan rata-rata kontribusi 1,5 persen dari rata-rata penerimaan SDA Non Migas. Jauh di bawah minerba, kehutanan, dan panas bumi yang angkanya triliunan rupiah.
“Secara besaran, sumber daya alam dari perikanan ini memang yang paling kecil dibanding sumber daya alam lain dari sisi nonmigas. Rata-rata kontribusinya dalam lima tahun terakhir sebesar Rp417 miliar per tahun atau sebesar 1,5 persen dari rata-rata penerimaan sumber daya alam non migas,” papar Kurnia.
“Memang sebelum PP 85 ini terbit, dari empat jenis PNBP nonmigas ini, hanya perikanan yang pungutannya tidak sejalan dengan tiga jenis lainnya. Seperti minerba, pungutan PNBP nya sudah berdasarkan berapa volumenya dan harga jualnya, demikian juga kehutanan dan panas bumi. Inilah yang menjadi dasar mengapa dilakukan perubahan rumusan dari sisi tarif pungutan SDA hasil perikanan ini,” pungkasnya. (DD/IP)