Keempat, instrumen upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali (PK) dapat dimintakan lebih dari 1 (satu) kali. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 telah menyatakan ketentuan PK hanya boleh satu kali saja sebagaimana diatur di Pasal 268 ayat (3) KUHAP dinyatakan tidak berlaku lagi.
Kelima, tidak ada batasan waktu untuk permohonan grasi. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 107/PUU-XIII/2015 telah menyatakan permohonan grasi diajukan paling lama satu tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana diatur di Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi dinyatakan tidak berlaku lagi.
Kedua putusan Mahkamah Konstitusi tersebut berpotensi dapat menjadikan pelaksanaan putusan menjadi berlarut-larut, manakala terpidana yang hendak dieksekusi tiba-tiba mengajukan permintaan PK atau permohonan grasi.
Keenam, pandangan yang menghendaki dihapuskannya sanksi pidana mati dengan argumentasi bahwa adanya sanksi pidana mati tidak menurunkan kuantitas kejahatan.
“Atas pernyataan tersebut akan saya jawab dengan sebuah pertanyaan serupa secara a contrario, yaitu, apabila sanksi pidana mati untuk koruptor dihapuskan, apakah lantas akan terjadi penurunan kuantitas tindak pidana korupsi?. Mengingat perkara korupsi belum ada tanda-tanda hilang dan justru semakin meningkat kuantitasnya, maka sudah sepatutnya kita melakukan berbagai macam terobosan hukum sebagai bentuk ikhtiar pemberantasan korupsi,” kata Burhanuddin.
Ketujuh, adalah terdapat penolakan dari para aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) yang menolak pemberlakuan hukuman mati. Para aktivis HAM ini tentunya mendapat dukungan dari dunia internasional yang terus mendorong setiap negara untuk menghapus regulasi hukuman mati.
“Mereka senantiasa berdalih jika hak hidup merupakan hak mutlak yang tidak dapat dicabut oleh siapapun kecuali oleh Tuhan. Penolakan para aktivis HAM ini tentunya tidak dapat kita terima begitu saja. Sepanjang konstitusi memberikan ruang yuridis dan kejahatan tersebut secara nyata sangat merugikan bangsa dan negara, maka tidak ada alasan bagi kita untuk tidak menerapakan hukuman mati,” tegas dia.
Jaksa Agung RI mengatakan, perlu menyadari bahwa eksistensi hak asasi haruslah bergandengan tangan dengan kewajiban asasi.
Dengan kata lain, negara akan senantiasa melindung hak asasi setiap orang, namun di satu sisi orang tersebut juga memiliki kewajiban untuk menghormati hak orang lain.
Peletakan pola dasar hukum Pancasila dengan menekankan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban merupakan sebuah keharusan agar tercipta tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (DD/JR)