Hidup dalam Toleransi di Mauleum, Timor Tengah Selatan

DETIKDATA, SOE – Kumandang azan dan dentang lonceng gereja bergantian meningkahi kehidupan beragama Desa Mauleum, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Kristen dan Islam hidup berdampingan, tanpa kecurigaan yang saling meniadakan.

Sebuah desa tempat Jeri Lenamah lahir, tumbuh hingga dewasa dan kini mengajar di sana, yang warganya melihat, bersikap, dan mengamalkan perbedaan agama dengan tenggang rasa. Tak banyak yang mengenal dan menganggap istimewa keberadaan Mauleum di Timor Tengar Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT) ini.

Tetapi, Jeri, perempuan yang kini menginjak usia 28, merasakan desanya sebagai tempat tinggal yang mendamaikan, lantaran ketika di banyak daerah di Indonesia konflik antara Kristen dengan Islam silih berganti, beberapa tak pernah selesai, bahkan menular ke wilayah-wilayah lainnya, di Mauleum, ketegangan berlatar agama justru tak muncul.

Jika di sebuah sekolah di daerah NTT pernah terjadi pelarangan siswa perempuan Islam menggunakan jilbab dan di sekolah-sekolah di Sumatera Barat memaksa para siswa perempuan Kristen dan Katolik memakainya, di sekolah tempatnya mengajar, SMP Negeri Satap Oemasi maupun sekolah-sekolah lainnya di Mauleum, jilbab tidak pernah menjadi masalah. Peserta didik perempuan yang beragama Islam bebas untuk memakai jilbab maupun tidak.

“Saling membantu, tolong-menolong ketika ada warga yang beragama berbeda beribadah dan merayakan hari besarnya, adalah pemandangan yang biasa di desa saya,” papar Jeri Lenamah, guru SMP Negeri Satap Oemasi, Mauleum (6/11/2021).

Kepedulian warga satu dengan lainnya, menurut Jeri, melambangkan kedamaian yang berkembang secara spontan di tengah-tengah masyarakat. Acara pesta atau ungkapan bersyukur sampai kedukaan dilakukan secara bersama-sama, laki-laki maupun perempuan, Islam, Kristen (Protestan) maupun Katolik.

Pada saat ada bagian keluarga atau tetangga melahirkan dan bersuka cita atas kehadiran anak sebagai anggota baru keluarganya, warga yang berbeda agama datang turut bersyukur, begitupun ketika ada kedukaan, warga yang tak seiman ikut bersimpati dengan mengunjungi untuk menyampaikan bela sungkawa.

*Harmoni dari generasi ke generasi*

Kepala Urusan Perencanaan dan Keuangan Desa Mauleum Yon Hauteas mengatakan bahwa populasi Kristen dan Islam hampir berimbang. Komposisi kependudukan yang terbesar dihuni oleh agama Kristen Protestan (sekitar 50%), kemudian diikuti Islam (45%) dan Katolik (5%).

Menurut Yon, banyak warga yang hidup damai dalam satu atap dengan keluarga yang berbeda keyakinan. Pemandangan semacam ini sudah terjadi turun-temurun. Ini yang menjadi alasan mengapa Mauleum mendapat julukan dari mereka yang mengetahui fakta kebinekaan sekaligus keharmonisan masyarakatnya sebagai Indonesia mini.

“Masyarakat Desa Mauleum banyak ragam baik suku, agama, budaya, dan ras. Yang paling menonjol ragam kehidupan masyarakat saat ini adalah agama,” tutur Yon Hauteas.

Pengelolaan keberagaman, menurut Yon, menjadi perhatian penting bagi seluruh perangkat desa. Walaupun beragam agama, namun dalam kehidupan sosial kemasyarakatan disamaratakan.

“Artinya tidak ada satu agama yang dipojokkan atau diberlakukan berbeda oleh aparat desa. Keyakinan masing-masing orang itu dijunjung tinggi dengan berlandaskan Bhinneka Tunggal Ika, yang sudah sejak lama dibakukan dan dibiasakan warga di sini,” lanjut Yon.

Sehingga, lanjut Yon, ketika orang baru masuk berdomisili di Desa Mauleum akan otomatis menyesuaikan dengan keadaan tersebut. Sehingga, ia berharap, jika ada pengaruh luar yang membawa paham radikalisme beragama, tidak akan dapat menghancurkan kerukunan dan keharmonisan masyarakat yang sudah tercipta dari generasi ke generasi.

Pandangan serupa disampaikan Muhammad Sofyan Taneo, salah satu warga muslim kelahiran Mauleum yang mengalami langsung kehidupan harmoni sejak kecil. Ia tumbuh dalam masyarakat desa yang menjadikan perbedaan iman sebagai berkah untuk membumikan nilai-nilai kebersamaan.

“Ketika berkumpul-kumpul, di dalam keluarga masih terasa kuat sikap saling toleran. Itu semua berdasarkan warisan nenek-moyang dan budaya kami yang saling menghormati, sehingga dalam keluarga meskipun berbeda agama namun masih hidup rukun sampai saat ini,” terang anak pertama dari orang tua yang beragama Kristen, Mesak Taneo.

Saat dijumpai di kediamannya, pria yang mempunyai sepasang buah hati itu menginternalisasi keberagaman dalam keluarganya menjadi sulam-sulam yang mengeratkan.

“Agama atau kepercayaan itu pilihan masing-masing orang tanpa harus dipaksakan,” tutur Taneo.

*Menghidupi persaudaraan dalam perbedaan iman*

Warga Mauleum sangat memahami tata-cara dalam memperlakukan saudara-saudaranya yang berbeda keyakinan. Salah seorang ibu dari 7 anak, Sundriana Beis, menceritakan bahwa pandangan, sikap, dan tindakan tenggang rasa tersebut lahir dari kebiasaan hidup bertoleransi yang dibentuk dari lingkungan keluarga.

“Kebiasaan toleransi ini sudah ditanamkan kepada kami sejak masih berada di lingkungan keluarga kamudian diberlakukan dalam setiap pertemuan, baik itu acara pesta maupun kedukaan di sekitar wilayah Mauleum,” ujar Beis yang menganut Kristen.

Ketika warga non-muslim mengadakan acara seperti pesta maupun kedukaan, Beis menjelaskan, maka akan disiapkan tempat khusus bagi saudara-saudara yang muslim, jika dalam acara tersebut terdapat makanan yang haram. Dalam lingkaran keluarga pun jika dari salah satu anggotanya ingin mengonsumsi makanan yang dilarang oleh agama lain maka harus dimakan habis di tempat, tidak boleh dibawa pulang ke rumah. Pada saat akan pulang, maka ia harus membersihkan tubuh sebelum pulang ke rumah. Demikian kebiasaan yang hidup di dalam keluarga Beis untuk memperlakukan dengan penuh hormat saudara yang berbeda agama.

Hal senada diungkap pemuka agama Islam Zulkarnain Nobisa. Ia menegaskan bahwa kekeluargaan menjadi pijakan keimanan dan hidup bertoleransi di masyarakat Mauleum yang majemuk.

“Kehidupan masyarakat di Mauleum yang diwarnai oleh berbagai latar belakang agama, namun harmoninya cukup kuat karena unsur kekeluargaan yang dijunjung tinggi, sehingga masyarakat bebas dari konflik antarumat beragama,” ungkap Nobisa yang dipercaya umat Islam di desanya untuk memimpin kegiatan-kegiatan keagamaan.

Sebagai orang yang ditokohkan, ia pun turut bertanggung jawab dalam melestarikan atmosfer damai kepada para generasi penerus. Zulkarnain Nobisa selalu mengamanatkan orang muda tetap merawat toleransi dalam kemajemukan Mauleum.

“Saya selalu berpesan agar anak-anak muda selalu menghargai sesama umat beragama di desa yang majemuk ini,” imbaunya.

Zulkarnain Nobisa melanjutkan, saat hari raya keagamaan seperti Idul Fitri, Idul Adha, Natal maupun Paskah warga desa Mauleum saling berkunjung satu sama lainnya. Hal tersebut ditempuh sebagai bentuk solidaritas antara warga yang beragama Islam dengan yang Kristen maupun Katolik.

“Warga desa Mauleum percaya bahwa keimanan harus dilandasi dengan rasa kemanusiaan. Kekeluargaan dan keimanan harus berjalan beriringan supaya perbedaan keyakinan kita tidak menimbulkan pertikaian,” tegas Nobisa.

*Silaturahmi menjadi kunci*
Zulkarnain Nobisa melukiskan kemapanan masyarakat desa Mauleum dalam menghidupi pandangan bahwa kekeluargaan dan kerukunan tidak dapat dibatasi oleh apa pun, termasuk keyakinan. Dentang lonceng di gereja dan kumandang azan di masjid, baginya adalah tanda bahwa warga perlu saling mengasihi sebagai umat ber-Tuhan.

“Kami percaya, kata ‘shalom’ dan assalamu ’alaikum’ adalah tanda kedamaian yang menembus sekat-sekat tembok agama,” jelasnya.

Sementara Nordi Benu salah satu majelis di Jemaat Baithesda Pene yang merasakan dan mengkhidmati tali silaturahmi yang terjalin di Mauleum sangat kuat.

“Jemaat yang saya layani berada di sekitar wilayah kaum muslim maupun Katolik, sehingga ketika saya melakukan ibadah rumah tangga maupun syukuran di jemaat, kami mengundang mereka (Muslim dan Katolik). Kami sama-sama melakukan ibadah atau syukuran,” ungkap Benu yang juga pemuda desa Mauleum.

Ia menyaksikan bukan saja ketika hari raya, namun di banyak peristiwa masyarakat Mauleum begitu bersatu padu.

Bagi masyarakat Mauleum, silaturahmi tidak dapat dibatasi tembok agama. Taneo yang Islam dan Jeri yang Kristen sama-sama membuka diri bagi perjumpaan-perjumpaan dan hubungan kekeluargaan terhadap yang berbeda iman dengan mereka.

“Ini kebiasaan indah yang sudah dibangun sejak dahulu, misalnya pada hari raya keagamaan. Saat Natal, umat Muslim dan Katolik kerap diundang untuk menghadiri acara syukuran di gereja ataupun di rayon-rayon setempat. Ketika tiba Idul Fitri ataupun Idul Adha umat Kristiani dan Katolik selalu diundang untuk bersilaturahmi,” terang Taneo ketika menggambarkan ajang-ajang silaturahmi di Mauleum.

Jeri yang kerap menyaksikan pendirian gereja secara gotong-royong, begitu pula sebaliknya saat membangun masjid dilakukan oleh warga antaragama, berharap agar solidaritas dan kerja sama ini tetap menjadi praktik yang dilakukan oleh kalangan mudanya. Ini juga untuk membendung kecenderungan meningkatnya intoleransi di Indonesia masuk ke desa-desa di Mauleum.

“Hanya dengan menjalin hubungan yang baik dengan lingkungan, generasi muda dapat meneruskan tradisi-tradisi toleransi sejati yang hangat di desa yang jauh dari pusat kota ini,” harap Jeri.

***
Liputan/produksi ini menjadi bagian dari program pelatihan dan hibah Story Grant: Anak Muda Suarakan Keberagaman yang dilaksanakan oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK). Terlaksana atas dukungan rakyat Amerika Serikat melalui USAID. Isinya adalah tanggung jawab SEJUK dan tidak mencerminkan pandangan Internews, USAID atau Pemerintah Amerika Serikat. (DD/YL)