DETIKDATA, JAKARTA – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mengungkapkan, persoalan stunting pada anak berkaitan erat dengan persoalan perkawinan anak. Hal ini digambarkan dengan tingginya angka stunting di wilayah dengan tingkat perkawinan anak yang juga tergolong tinggi. Untuk itu, Kemen PPPA menekankan pentingnya kolaborasi dan sinergi seluruh pihak, baik pemerintah, maupun masyarakat luas untuk mencegah perkawinan anak dan stunting.
“Pencegahan perkawinan anak sangat beririsan dengan pencegahan stunting. Hal ini disebabkan karena kondisi anak yang diharuskan menikah, baik secara usia, pendidikan, maupun kesehatan reproduksinya belum siap, sehingga ketika mereka hamil dan melahirkan, baik dalam pemenuhan gizi maupun aspek kesehatan anak yang dilahirkan berisiko besar mengalami stunting,” ungkap Staf Khusus Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bidang Anak, Ulfah Mawardi, Selasa (5/10/2021).
Ulfah menambahkan, sebagai upaya mencegah dan menurunkan angka stunting menjadi 14 persen sesuai target Pemerintah pada 2024 mendatang, Kemen PPPA secara serius berkomitmen menjalankan lima arahan Presiden, di antaranya yaitu meningkatkan pemberdayaan perempuan di bidang kewirausahaan yang berspektif gender, meningkatkan peran ibu dan keluarga dalam pendidikan dan pengasuhan anak, menurunkan kekerasan terhadap perempuan dan anak, menurunkan pekerja anak, dan mencegah perkawinan anak.
“Ketika perempuan berdaya secara ekonomi maka kesehatan dan pendidikan perempuan dapat lebih terjamin, sehingga menghasilkan anak sebagai generasi penerus bangsa yang sehat, berkualitas, dan bebas stunting. Tanpa perempuan dan anak yang sehat, maka tujuan bersama untuk mencapai perempuan yang berdaya tidak akan tercapai,” tambah Ulfah.
Lebih lanjut, Ulfah menuturkan Kemen PPPA juga telah berkolaborasi dengan berbagai pihak dalam mencegah stunting, seperti berkoordinasi dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak Provinsi maupun Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia. Selain itu, melibatkan peran Forum Anak yang merupakan agen perubahan sebagai pelapor dan pelopor (2P) untuk melakukan sosialisasi program terkait anak khususnya dalam mencegah stunting, seperti pendidikan kesehatan reproduksi, pemenuhan gizi, pencegahan perkawinan anak di tingkat akar rumput baik kepada sesama anak maupun keluarga yang dikemas menarik dan bersifat millennial kepada teman-teman seusianya di seluruh Indonesia.
“Program wajib belajar 12 tahun diharapkan dapat dijalani anak-anak kita, sehingga sampai di Perguruan Tinggi nanti anak dapat memahami persoalan stunting dan upaya mencegahnya. Kemen PPPA juga telah menyediakan layanan call center Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 serta melakukan program pemberdayaan perempuan di tingkat desa. Layanan dan program ini dapat dimanfaatkan untuk memberikan edukasi terkait pencegahan stunting dalam masyarakat, sekaligus mendukung program Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA),” pungkas Ulfah.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo mengungkapkan pendewasaan usia perkawinan anak sangatlah penting dalam mencegah stunting. Untuk itu, BKKBN telah melibatkan peran generasi muda melalui Generasi yang Punya Rencana (GenRe) agar tidak melakukan perkawinan anak, seks di luar nikah, dan menjauhi narkotika.
“Kami juga menjalankan program Bina Keluarga Remaja dan Posyandu Keluarga. Kami harap Kementerian Dalam Negeri berkenan mengubah Posyandu yang ada saat ini, menjadi Posyandu Keluarga untuk menangani berbagai permasalahan terkait keluarga, khususnya dalam mendukung pencegahan perkawinan anak dan pencegahan stunting, serta memenuhi hak-hak anak, misalnya dengan memberikan edukasi terkait kesehatan reproduksi,” ujar Hasto. (DD/DT)