Catat, Ada Tujuh Tindak Pidana Kekerasan Seksual di RUU TPKS

DETIKDATA, JAKARTA – Korban kekerasan seksual terus berjatuhan. Hampir tiap hari publik disodorkan berita mengenai pelecehan seksual, termasuk tindak pemerkosaan. Perilaku kriminal itu tidak mengenal tempat untuk melaksanakan praktik biadabnya. Bisa di rumah bahkan di sekolah – yang selama ini dianggap tempat yang paling aman. Korbannya, yang paling banyak: perempuan dan anak-anak.

Sepanjang 2021 lalu, terdapat 10.247 kasus kekerasan terhadap perempuan – di antaranya 15,2 persennya adalah kekerasan seksual. Dalam kasus kekerasan terhadap anak, trennya bahkan lebih memprihatinkan lagi, karena sebagian besar adalah kasus kekerasan seksual. “Ada 45,1 persen kasus – atau setara dengan sekitar 6.547 kasus – dari 14.517 kasus kekerasan terhadap anak, merupakan kasus kekerasan seksual,” kata Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, dalam jumpa pers virtual pada Rabu (19/1/2022).

Menteri Bintang menegaskan bahwa kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak merupakan fenomena gunung es. Artinya, jumlah kasus yang sebetulnya terjadi bisa jadi lebih parah dibandingkan yang sudah diketahui saat ini.

“Permasalahan yang terjadi sebenarnya lebih kompleks dan besar daripada permasalahan yang terlihat di permukaan,” kata Menteri Bintang lagi.

Presiden Joko Widodo juga ikut menegaskan pentingnya perlindungan terhadap korban kekerasan seksual. Presiden mengajak semua pihak untuk memberikan perhatian bersama, utamanya dalam menangani dan mengakhiri kekerasan seksual pada perempuan dan anak-anak. Untuk itu, Presiden mendorong langkah-langkah percepatan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang hingga kini masih berproses.

“Saya mencermati dengan saksama Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, sejak dalam proses pembentukan pada 2016, hingga saat ini masih berproses di DPR. Karena itu saya memerintahkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) serta Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk segera melakukan koordinasi dan konsultasi dengan DPR dalam pembahasan RUU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual ini agar ada langkah-langkah percepatan,” ujar Presiden dalam keterangannya di Istana Merdeka, Jakarta, di awal 2022 ini.

Perlu diketahui bahwa RUU TPKS sudah disahkan jadi RUU inisiatif DPR. Pengesahan itu dilakukan di Rapat Paripurna DPR ke-13 masa sidang 2021-2022 lalu.

Di samping itu, Kepala Negara juga meminta kepada Gugus Tugas Pemerintah yang menangani RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual untuk segera menyiapkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) terhadap draf RUU yang sedang disiapkan oleh DPR RI. Dengan demikian, proses pembahasan bersama nanti lebih cepat, masuk ke pokok-pokok substansi untuk memberikan kepastian hukum, serta menjamin perlindungan bagi korban kekerasan seksual.

“Saya berharap RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual ini segera disahkan sehingga dapat memberikan perlindungan secara maksimal bagi korban kekerasan seksual di Tanah Air,” kata Presiden.

Menurut Wakil Ketua Badan Legislatif DPR RI, Willy Aditya, dari 500 DIM RUU TPKS ada 300 DIM yang bersifat substansial yang masih dibahas. Salah satu pembahasan yang masih mengganjal di parlemen adalah keberadaan frasa “tanpa persetujuan korban” dalam RUU TPKS.

Frasa tersebut dinilai membingungkan karena kalau dengan “persetujuan korban” artinya boleh terjadi hubungan seksual – bagi pasangan yang belum terikat perkawinan. Pengritik frasa ini datang dari Fraksi PKS yang khawatir dapat menjadi pintu masuk untuk mengizinkan praktik seks bebas di Indonesia.

Sebaliknya, ada juga yang berpendapat justru dengan hadirnya frasa “tanpa persetujuan korban” merupakan bagian penting dalam menentukan apakah suatu perbuatan tergolong ke dalam kekerasan seksual atau tidak.

Frasa “tanpa persetujuan korban” merupakan terjemahan dari kata consent yang menjadi unsur penting dalam pengertian kekerasan seksual. Ketiadaan persetujuan atau consent dalam berhubungan seksual menandakan adanya unsur pemaksaan dalam melakukan hubungan. Kecuali korban masih di bawah umur, dalam keadaan sakit, atau cacat sehingga tidak berdaya tentu tidak memerlukan frasa “tanpa persetujuan korban”.

Hal lain yang juga terungkap dalam pembahasan RUU TPKS ini juga nantinya akan mengatur bahwa pelecehan seksual nonfisik dapat dipidana dengan delik aduan. Seperti dikatakan oleh Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Edward Omar Sharif Hiariej, ketentuan tersebut diatur dengan delik aduan karena pelecehan seksual nonfisik sifatnya subjektif.

“Subjektif delik itu adalah betul-betul adalah perasaan subjektifitas seseorang, tetapi tidak bisa sembarang orang melapor. Itu akan dibatasi, kita bungkus (dengan) menyatakan bahwa ini adalah delik aduan,” kata Edward dalam rapat dengan Panitia Kerja (Panja) RUU TPKS Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Selasa (29/3/2022).

Secara keseluruhan ada tujuh substansi baru yang akan dimasukkan dalam RUU TPKS. Lima substansi baru mengenai jenis tindak pidana kekerasan seksual yang diusulkan DPR adalah pelecehan seksual fisik, pelecehan seksual non fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, dan penyiksaan seksual. Adapun pemerintah menambahkan dua pasal tindak pidana kekerasan seksual dalam bentuk: perbudakan seksual dan perkawinan paksa.

“Tujuh jenis kekerasan tersebut belum diatur dalam undang-undang yang lain,” ujar Wakil Menteri Edward.

Selain tujuh jenis tindak pidana di atas, pemerintah juga mengajukan sejumlah tindak pidana kekerasan lainnya – yang sebenarnya sudah diatur dalam KUHP, UU Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan aturan lainnya. Sebut saja misalnya perkosaan, perbuatan cabul, persetubuhan, perbuatan cabul dan eksploitasi seksual terhadap anak, perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban, pornografi yang melibatkan anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan, dan eksploitasi seksual.

Kemudian mengenai aborsi, pemaksaan pelacuran, tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual, kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga, tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan tindak pidana kekerasan seksual, dan tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kendati sejumlah tindak pidana kekerasan seksual di atas sebetulnya sudah diatur dalam UU lainnya, namun pemerintah mengajukan jenis tindak pidana tersebut juga diatur dalam RUU TPKS.

Tujuannya, seperti kata Wakil Menteri Edward, sebagai penegasan bahwa hukum acara dan perlindungan dalam RUU TPKS juga berlaku bagi tindak pidana kekerasan seksual yang ada dalam peraturan perundang-undangan lain, termasuk peraturan yang akan diundangkan di kemudian hari. (DD/IP)