DETIKDATA, ENDE – Tanah Lio, Flores yang subur, di mana gunung, laut, dan langit saling bersapa, ada satu tradisi yang tak hanya mengenyangkan perut, tetapi juga menghidupkan rasa. Po’o, ritual memasak nasi dalam bambu. Ini bukan sekadar memasak, ini adalah perayaan kebersamaan, doa, cinta pada tanah leluhur dan terimakasih pada bumi.


Pagi hari, saat kabut masih turun perlahan dari lereng gunung, warga berkumpul di halaman rumah adat atau tepi kebun. Tangan-tangan yang cekatan mulai mempersiapkan bambu, dipotong dengan hati-hati, dibersihkan, lalu diisi beras pilihan yang telah dicuci di aliran air jernih. Kadang, santan kelapa, garam, atau rempah ditambahkan, menciptakan aroma yang kelak menari-nari di udara.

Bambu yang sudah terisi ditata di atas bara api. Suara letupan kecil dari ruas bambu berpadu dengan tawa anak-anak, percakapan hangat, dan nyanyian tradisional yang dilantunkan para tetua. Asap yang mengepul membawa aroma wangi nasi bercampur kayu bakar, aroma yang membangkitkan kenangan masa kecil, bahkan bagi mereka yang baru pertama kali menghirupnya.

Po’o tak hanya tentang makanan, tetapi juga tentang makna. Ia adalah simbol syukur atas panen, ucapan terima kasih kepada leluhur, dan doa untuk keberkahan di masa depan. Setiap orang yang hadir ikut merasakan kebersamaan, duduk melingkar, membagi nasi bambu yang baru matang, dan menikmati setiap suap yang hangatnya sampai ke hati.


Bagi wisatawan, menyaksikan Po’o adalah kesempatan langka untuk menyentuh kehidupan masyarakat Ende yang sesungguhnya. Di desa-desa seperti Wololele A, Fatamari, Roga, Wolowaru, atau Watuneso, Anda bisa ikut memotong bambu, mencuci beras di sungai, bahkan memanggangnya sendiri di atas api. Saat menggigit nasi yang harum itu, Anda akan paham bahwa Po’o bukan sekadar kuliner, ia adalah cerita, doa, dan persahabatan yang dibungkus dalam bambu.

Jadi, ketika Anda berkunjung ke Ende Lio, jangan hanya melihat pemandangan dan memotret senja. Duduklah di tepi api, biarkan asapnya membelai wajah, dan nikmatilah Po’o. Bawa pulang bukan hanya rasanya, tapi juga hangatnya kebersamaan yang akan selalu memanggil Anda kembali.
Penulis: Yos Wangge






