Tuhan, aku mencintai murid-Mu, namun apalah daya, seba dia dilahirkan bukan untukku.
Apakah aku tak pantas untuk bahagia, jika kelak aku harus berpisah dengannya?
lalu mengapa Kau izinkan kami untuk bertemu?
Sungguh! Aku tak sanggup sebab harap ku terlampau dahsyat untuknya
Aku sadari, cinta tak harus memiliki,
dan jika ini adalah sebuah takdir yang harus ku tanggung,
biar ku relakan dia untuk meminum cawan bersama-Mu,
sebab mencintai yang bukan milikku, serupa memahat luka di mata hati
Di sini, hari demi hari,
aku menghitung detik,
lantunkan seribu satu tanya pada dedaunan yang berguguran
namun tak ada jawaban,
sebab yang kudapat hanya patahan luka dan rindu yang di bawa angin tanpa kata-kata.
Dalam lipatan waktu, aku mencoba menghapus jejaknya,
melumpuhkan ingatan dan memori tentang dia
namun pikiranku kalut
sebab rasa cintaku semakin kuat saat nyaring suaranya memecah sepi ku,
harum nafasnya menyebut namaku.
Aku tak berkuasa untuk menahan rasa cinta untuknya,
dan kini detak jantungku semakin tak berirama
saat membaca kembali kisah yang pernah ku tulis di kaki langit bersamanya
sebab hingga saat ini, dia masih menjadi sang juara di hatiku
Perihal rasa, kini aku mendadak menjadi penyair paling prematur
entah aku yang terlalu mengharapkannya,
atau kah rasa cintaku yang terlalu dalam?
Namun bolehlah aku egois dengan cinta ini,
sebab aku ingin dia tetap di sisiku meski rinduku tak pernah dibalas
dan aku berharap dia memiliki rasa yang sama
meski takdir begitu ganas, membiarkannya berlayar di dermaga yang tak bisa kurayu dengan hasrat puisi
Mungkin angin akan mengutukku untuk menyerah
tapi itu tak akan terjadi
sebab di sepertiga malam ku,
aku selalu menceritakan namanya pada-Mu, Tuhan.
Dan jika dia benar-benar bukan takdirku
Izinkan aku berpuisi tentang skenario yang indah
lalu menenun doa sebagai sakramen rindu
agar cinta dan rindu tak pada di tengah dahsyatnya luka
sebab aku mengenalnya karena cinta, dan melepasnya pergi karena cinta.
Terima kasih Tuhan telah mempertemukan aku dengan dia..
Oleh: Elisabeth Nenu