DETIKDATA, JAKARTA – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mendorong masyarakat atau para korban untuk berani melaporkan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang mereka alami atau ketahui.
“Kemen PPPA bersama seluruh pengampu urusan yang membidangi pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak berupaya mencegah segala bentuk KDRT yang banyak terjadi di masyarakat,” ujar Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan Kemen PPPA, Valentina Gintings dalam keterangan yang diperoleh Sabtu (19/2/2022).
KDRT adalah perlakuan yang dialami oleh keluarga sehingga menimbulkan dampak kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga. Sebagian besar korban umumnya adalah perempuan atau istri dan pelakunya adalah suami. Namun, tidak menutup kemungkinan terjadi sebaliknya.
Valentina menjelaskan beberapa bentuk dan jenis kekerasan dalam rumah tangga, yaitu: (1) Kekerasan Fisik seperti memukul, mencekik, menendang, menampar, menyiksa dengan alat bantu; (2) Kekerasan Psikis seperti mengancam, menghina, menakut-nakuti, menyindir, mengolok-olok secara verbal; (3) Kekerasan Seksual seperti memaksa hubungan seksual, menunjukan gambar/video yang mengundang pornografi, pornoaksi dan pelecehan seksual; (4) Penelantaran Rumah Tangga seperti tidak memberikan nafkah lahir dan batin, meninggalkan keluarga tanpa berita, melarang bekerja tanpa alasan.
“Kebanyakan kasus KDRT terjadi karena faktor ekonomi. Apalagi di masa pandemi ini tren kasus dan angka laporan KDRT meningkat drastis. Bisa dikatakan kenaikan angka laporan itu berarti masyarakat sudah lebih aware dan berani speak up. Tapi, masih banyak juga korban yang tidak mau melapor dikarenakan takut akan ancaman yang diterima dan merasa bahwa KDRT adalah aib keluarga yang tidak perlu diketahui oleh lingkungan sekitar. Melaporkan kasus KDRT itu tidak mudah, butuh keberanian yang besar. Tapi, tidak perlu takut karena siapa saja yang berani melapor, perlindungan hak privasinya terjamin,” tutur Valentina.
Lebih lanjut, Valentina menegaskan ada beberapa hal penting yang perlu dilakukan jika mendapati kasus KDRT, diantaranya: (1) Utamakan keselamatan diri sendiri dengan mengidentifikasi kondisi diri, jika mengalami luka fisik segera mengakses layanan kesehatan, dan apabila keselamatan diri terancam segera melapor kepada penyedia layanan/rumah aman atau meminta pertolongan dari kerabat yang dipercaya; (2) Bicarakan dengan kerabat; (3) Kumpulkan bukti-bukti dengan mencatat kejadian atau merekam suara/video, dan simpan bukti fisik (visum et repertum) serta bukti psikis (visum et psikiatrikum); (4) Lapor kepada aparat penegak hukum atau layanan pengaduan.
Dalam upaya menjalankan tugas dan fungsi dalam mewujudkan layanan perlindungan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan, Kemen PPPA telah menerbitkan Peraturan Menteri PPPA (Permen PPPA) No.4 tahun 2018 tentang pedoman pembentukan unit pelaksana teknis daerah perlindungan perempuan dan anak (UPTD PPA) dengan enam fungsi layanan yang dapat diberikan, berupa: pengaduan masyarakat, penjangkauan korban, pengelolaan kasus, penampungan sementara, mediasi, dan pendampingan korban di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Selain itu, Kemen PPPA juga memiliki layanan call center sahabat perempuan dan anak (SAPA) 129 (021-129) atau whatsapp 0811 129 129, dimana para korban kekerasan dapat melaporkan kekerasan yang dialami atau diketahui. Dengan adanya layanan tersebut diharapkan masyarakat, terutama para korban tidak lagi takut untuk melaporkan kasus kekerasan.
“Call center SAPA 129 ini untuk mempermudah akses bagi korban atau pelapor dalam melakukan pengaduan dan pendampingan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Mari saling mendukung untuk menekan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak, karena saat ini kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah kasus extraordinary yang harus kita berantas bersama. Beranilah berbicara untuk diri sendiri dan juga untuk lingkungan sekitar,” tutup Valentina. (DD/KP)