DETIKDATA, KEFAMENANU – Pemerintah Kabupaten, Timor Tengah Utara (TTU), diduga dibentengi sekelompok preman yang berusah membubarkan Kelompok Cipayung saat menggelar aksi demo penolakan terhadap Peraturan Daerah No: 3 tahun 2021 yang memuat tentang RPJMD tanpa proses Validasi Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Jumat, (29/10) lalu.
Hal ini disampaikan Ketua GMNI, Francis Ratriges kepada detikdata.com. Senin (01/11/21).
Kelompok Cipayung tersebut terdiri dari Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), dan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI)
“Hal ini yang memang kita sayangkan, saat kita melakukan aksi penolakan agar Pemda TTU melakukan tinjauan Kembali terhadap RPJMD kemaring, disitu itu ada juga preman-preman yang hadir disitu,” ungkap Ratregis.
Ratregis juga mengatakan persoalan dugaan hadirnya preman tersebut menunjukan bentuk dari kegagalan Peran Polres TTU mengawal Aksi Cipayung
“Nah itulah bentuk kegagalan dari kepolisian Timor Tengah Utara yang mestinya mereka hadir untuk mengamankan aksi tapi malah Kepolisian sendiri turut membentengi pemerintah, itu yang kita pertanyakan kenapa ada Preman disitu. Sehingga, ini sangat kita sayangkan terhadap preman yang hadir disitu,” kata Ratrigis.
Ratrigis menduga Pemkab TTU juga sudah tidak percaya terhadap Polres TTU
“jadi kita juga menduga jangan sampai ada hal-hal yang diluar dari itu sehingga para preman bisa hadir disitu. Jangan sampai pemerintah juga sudah tidak punya kepercayaan terhdap institusi Polri sehingga pemerintah bisa hadirkan para preman disitu untuk mengamankan itu (Kantor Bupati) dari masa aksi Cipayung kemarin,” pungkas Ratregis.
Di tempat berbeda, Ketua Presidium PMKRI Cabang Kefamenanu, Kristoforus Bota membenarkan adanya Kericuhan dan Kerusakan Fasilitas Umum saat aksi demonstrasi berlangsung pada jumat lalu itu benar terjadi.
Hal itu katanya, terjadi secara spontan tanpa kesengajaan atau setingan terlebih dahulu. Tapi hal itu terjadi disebabkan karena adanya penghadangan oleh aparat kepolisian dipintu gerbang pagar keliling gedung DPRD Kabupaten TTU sebelah barat, sehingga mengakibatkan emosional masa aksi hampir tidak terkendali karena adanya aksi gesekan dan dorong-mendorong antara masa aksi dan pihak aparat kepolisian.
Terkait meja yang rusak di depan pintu utama ruang Sidang DPRD dan Pot Bunga yang pecah di Depan Kantor Bupati TTU, Kristo menyatakan bahwa hal itu disebabkan karena adanya aksi gesekan dan saling dorong antara masa aksi dan aparat kepolisian, sehingga tanpa disengaja meja dan pot bunga yang rusak itupun tersenggol dan terinjak lalu rusak. Sedangkan kursi DPRD yang sempat di Boikot oleh masa aksi itu disebabkan karena adanya kekesalan masa aksi terhadap ketidakhadiran semua Anggota DPRD Kabupaten TTU dengan dalil Kunjungan Kerja.
“Kita sangat sesalkan para pimpinan DPRD dan bagian Kesekertariatan Dewan yang tidak profesional dalam menjalankan tugasnya itu, sebab kalaupun semua Anggota DPRD ada kesibukan Kunker dan lain sebagainya, seharusnya oleh bagian Kesekertariatan Dewan itu memberikan surat pemberitahuan balik kepada Cipayung, sehingga kita bisa persiapkan waktu lain,” ujar Kristo
Selain itu, Kristo juga menduga bahwa kericuhan yang terjadi didepan kantor bupati itu telah direncanakan oleh pihak Pemerintah Daerah Kabupaten TTU.
“Kita menduga bahwa kericuhan yang terjadi didepan kantor Bupati itu telah direncanakan oleh Pemerintah Daerah, hal ini dibuktikan dengan adanya oknum-oknum yang bercelana pendek yang hadir saat aksi demonstrasi dilakukan hingga berujung pada kericuhan. Kantor Bupati itu merupakan gedung terhormat, yang seharusnya dalam urusan dinas itu semua masyarakat wajib memperhatikan nilai estetika dalam hal berpakaian. Kalau seperti yang terjadi pada saat aksi demonstrasi berlangsung itu, kita menduga bahwa kehadiran oknum-oknum yang bercelana pendek itu direncanakan oleh Pihak pemda dan harusnya oleh Pihak Kepolisian dapat melihat itu dan bisa mengamankan mereka, bukan malah membiarkan,” beber Kristo.
Lebih lanjut, Kristo juga mengecam Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) TTU yang menggunakan Mobil Pemadam Kebakaran untuk membubarkan masa aksi.
“Kita mengecam dengan keras sikap Kepala BPBD yang telah menyalahgunaan fasilitas umum yang fungsinya untuk pemadaman api saat adanya bencana kebakaran itu untuk membubarkan masa aksi. Padahal saat ini, Dominasi masyarakat yang tersebar di 24 kecamatan di Kabupaten TTU ini sedang mengalami kekeringan air bersih, seharusnya Mobil Pemadam Kebakaran itu lebih eloknya jika digunakan untuk membantu masyarakat untuk menyalurkan bantuan air bersih, bukan malah digunakan untuk membubarkan masa aksi yang secara Undang-Undang itu dijamin Haknya,” tutup Kristo
Sedangakan Ketua GMKI, Thofilus Sanam yang dihubungi ditempat berbeda lagi mengatakan jika betul dugaan Pemkab TTU membentengi diri dengan Preman hal tersebut memang sangat disayangkan.
“jadi pandangan dari Cipayung ini menunjukan bahwa Pemda saat ini tidak percaya terhadap pihak keamanan dalam hal ini Sat Pol PP dan juga Kepolisian dan jika memang betul dugaan ini sesungguhnya sangat disayangkan karna dari pihak kepolisian lupa akan tugas pokok dan fungsi mereka sebagai pihak keamanan dan penjaga ketertiban masa aksi terkususnya masa aksi Cipayung kemarin dan ini memang betul-betul dari pihak kepolisian mencerminkan kegagalan menjalankan tugas pokok dan fungsi yang suda di amanatkan dalam perundang-undangan,” pungkas Thofil.
Untuk diketahui Cipayung sendiri memiliki Kajian Landasan Konstitusi terhadap cacatnya Perda Nomor :3 tahun 20201 yang memuat RPJMD tanpa proses Validasi KLHS
Dalam rilis kajian Cipayung Kabupaten TTU, yang ditandatangani Kordinator Umum, Aprianus Eni dengan Kordinator Lapangan Agustinus Haukilo dan Abraham Mabilegi, Cipayung Kabupaten TTU mengutarakan landasan Hukum cacatnya RPJMD sebagaimana tertuang dalam surat Gubernur Nusa Tenggara Timur dengan Nomor : BU.660/23/KLHS/2021 tentang Validasi Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) RPJMD Kabupaten TTU 2021-2026 dalam poin 9 disebutkan bahwa dengan tidak terlaksanya rapat telaah teknis maka dokumen KLHS RPJMD Kabupaten TTU tahun 2021-2026 tidak tervalidasi dan Peraturan Daerah Kabupaten TTU Nomor 3 tahun 2021 tentang RPJMD tahun 2021-2026 disahkan tanpa persetujuan validasi KLHS sebagai salah satu persyaratan.
RPJMD yang diparipurnakan tanpa KLHS yang divalidasi inprosedural, sama dengan menantang UU Pasal 15 ayat 1 UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan penegasan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib membuat KLHS untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan suatu wilayah dan atau kebijakan, rencana, dan atau program.
Adapun Peraturan Dalam Negeri Nomor 86 tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian dan Evaluasi Pembangunan Daerah, tata cara evaluasi pembangunan daerah tentang rencana pembangunan jangka panjang daerah, RPJMD, rencana kerja pemerintah daerah. Permendagri Nomor 86 tahun 2017, Pasal 5 mengamanatkan bahwa RPJMD dirumuskan secara berwawasan lingkungan dan berkelanjutan, dan Pasal 47 huruf g tentang penyusunan rancangan awal RPJMD mencakup KLHS, Pasal 153 kaidah perumusan kebijakan rencana sebagaimana dimaksud dalam pasal 151 meliputi KLHS.
Pemerintah melalui Kemendagri telah menetapkan Permendagri Nomor 7 tahun 2018 tentang Pembuatan dan Pelaksanaan Kajian Lingkungan Hidup Strategis dalam Penyusunan RPJMD. Dalam Permendagri Nomor 86 tahun 2017 disebutkan bahwa pelaksanaan validasi KLHS terhadap RPJPD/RPJMD kabupaten/kota dilaksankan secara bersamaan pada tahap evaluasi rancangan Perda RPJPD/RPJMD kabupaten/kota oleh gubernur melalui perangkat daerah yang membidangi lingkungan hidup. Sehingga, Perda RPJMD yang sudah diparipurnakan dan diperdakan tanpa proses validasi KLHS tidak memenuhi kaidah yang diatur dalam UU dan Peraturan
Cipayung Kabupaten TTU dengan tegas menyatakan Perda nomor : 3 tahun 2021 yang memuat tentang RPJMD harus batal demi Hukum. (DD/YM)