Kepala PPATK: Perlu Transparansi Penggalangan Donasi dari Masyarakat

DETIKDATA, JAKARTA – Berbagai upaya dilakukan oleh jaringan terorisme untuk menggalang dana di negeri ini. Ada yang dengan cara transfer menggunakan teknologi finansial, memanfaatkan aplikasi donasi dan – ini modus paling baru – melalui sumbangan lewat kotak amal. Kotak amal itu disebar di berbagai masjid, toko swalayan, dan restoran.

Tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri telah mengamankan puluhan ribu kotak amal yang diduga berkaitan dengan penggalangan dana teroris Jamaah Islamiah (JI). ”Tersebar di ribuan lokasi. Jadi di satu kota atau provinsi bisa 1.000 atau 2.000 kotak. Seperti di warung, supermarket, tempat ibadah, dan lain-lain,’’ ujar Kombes Pol. Aswin Siregar, Kabag Bantuan Operasi Densus 88 (22/8/2021) di Jakarta.

Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono menambahkan, organisasi terlarang seperti JI memang sengaja menempatkan kotak amal tersebut di titik-titik yang sekiranya ramai dikunjungi masyarakat. ”Kotak infaq ini ada di warung, ada di tempat orang yang kerap berkumpul atau banyak orang lalu lalang,” ungkapnya.

Dana yang terkumpul itu, menurut Polisi digunakan antara lain untuk biaya operasional, yang diduga masih ada sekitar 1.600 anggota JI yang tersebar di seluruh Indonesia. Hal itu diketahui berdasarkan dari pengakuan sejumlah anggota JI yang tertangkap oleh Densus 88 Antiteror Polri.

Tentu warga yang menyumbang tak akan pernah tahu bahwa dana yang dimaksudkan ke dalam kotak amal itu, akan digunakan sebagai dana operasional untuk aksi teroris. Apalagi kotak-kotak amal itu diberi label, seolah untuk sumbangan untuk anak-anak yatim piatu, ada yang untuk pembangunan masjid, serta bantuan sosial lainnya yang diprakarsai oleh suatu lembaga atau yayasan misalnya – yang ternyata tidak pernah ada alias palsu. Masyarakat penyumbang biasanya tidak pernah mempertanyakan asal usul keberadaan kotak amal itu. Demikian pula pengelola restoran atau pengurus masjid misalnya juga tidak pernah memverifikasi keberadaan atau pengurus lembaga atau yayasan yang menaruh kotak amal untuk menggalang dana masyarakat.

Melihat itu maka Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae mengajak agar, “masyarakat perlu lebih berhati-hati dan lebih cermat dalam memberikan maupun menerima sumbangan atau amal. Harus tahu siapa yang memberi dan siapa yang menerima,” ujarnya.

Untuk mengantisipasi fenomena modus-modus baru dalam penggalangan dana terorisme ini, Kepala PPATK itu mengusulkan untuk segera dilakukan amandemen terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang dan perubahan Peraturan Pemerintah No. 29/1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan. “Perubahan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas atas penggalangan donasi dan bantuan dari masyarakat,” tutur Dian.

Di samping itu, menurut Dian lagi, agar pengawasan aktivitas terorisme lebih optimal, diperlukan audit terhadap individu dan atau entitas yang melakukan penggalangan donasi untuk domestik maupun luar negeri. Perlu dilakukan verifikasi lebih lanjut terhadap pihak penerima donasi yang berada di luar negeri. Untuk mewujudkannya, dibutuhkan peran Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam hal pemantauan akun media sosial yang membuka donasi.

Sesuai dengan kewenangan yang diatur dalam UU No. 8/ 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) dan UU No. 9/ 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (UU TPPT), PPATK dapat melaksanakan fungsi analisis, pemeriksaan laporan dan informasi transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang maupun tindak pidana pendanaan terorisme.

“PPATK siap memberikan dukungan penuh dalam mencegah dan memberantas berbagai aktivitas organisasi terorisme di Indonesia melalui pemantauan aliran dana,” tegas Dian. Hal ini, katanya lagi, bukan tanpa alasan mengingat saat ini terorisme menjadi salah satu isu global terkait aksinya yang menciptakan terror dan meresahkan warga dunia.

Untuk itu, PPATK bekerja sama dengan sejumlah lembaga terkait, senantiasa bersinergi dan berkolaborasi dalam hal pertukaran informasi, terutama terkait penelusuran dana yang berpotensi mengarah kepada pendanaan kelompok terorisme. PPATK secara rutin berkoordinasi dengan beberapa pihak seperti Kepolisian, BNPT, BIN, Pihak Pelapor, dan sejumlah lembaga lainnya, termasuk mitra kerja yang ada di luar negeri.

“Sinergi lintas lembaga seperti ini sangat mutlak dibutuhkan dalam upaya untuk mengantisipasi segala kegiatan yang berpotensi mengarah pada aktivitas terorisme. Terutama pertukaran informasi terkait pihak-pihak yang memiliki keterkaitan dengan aktivitas terorisme baik itu berupa dukungan simpatisan maupun pendanaan yang terjadi di Indonesia,” kata Dian.

Data statistik Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT) periode tahun 2016 hingga Mei 2021 menunjukkan ada total 4.093 LTKM terkait Pendanaan Terorisme dan 172 hasil analisis dan informasi terkait Pendanaan Terorisme yang disampaikan kepada piha-pihak yang terkait. “Pendanaan terorisme ini memerlukan sebuah pendekatan yang agak berbeda dibandingkan dengan pencucian uang seperti jumlah nominalnya yang cenderung dipecah, sehingga dalam pengungkapannya perlu pendalaman lebih yang membutuhkan peran dari kawan-kawan Kepolisian, BIN, dan lembaga lainnya agar lebih jelas,” ungkap Dian. (DD/AK)